Merawat Memori Kolektif Peradaban Nagari Maek

Sejarah Daerah

Peradaban Maek Lima Puluh Koto
Foto Profil Penulis

Rio

10 May 2025

Di lembah hijau yang diapit perbukitan Bukit Barisan, Nagari Maek dengan luas 122,06 km² (setara separuh Kecamatan Bukit Barisan) menyimpan lapisan-lapisan peradaban kuno yang terabadikan dalam bentuk menhir, cerita rakyat, dan struktur sosial yang masih bertahan hingga kini.

Pohon pinang yang berbaris di perbukitan dan hamparan kebun gambir di sepanjang lereng bukit bagaikan serpihan memori kolektif yang perlu dikumpulkan kembali, dirawat, dan diwariskan kepada generasi mendatang. Batang Maek yang membelah lembah ini menjadi saksi bisu perkembangan peradaban sejak ribuan tahun lalu.

I-Tsing, biksu asal Guangzhou yang mengembara ke Nandala (India) pada abad ke-7, dalam catatannya yang diterjemahkan J. Takakusu tahun 1896, menyebutkan bahwa penduduk di ibu kota (Fo-shih) banyak menghasilkan pinang, pala, cengkih, dan kapur barus. Ia juga mencatat bahwa di negeri Shih-li-fo-shih, pada pertengahan bulan kedelapan, orang yang berdiri di siang hari tidak memiliki bayangan. Fenomena ini hanya terjadi di beberapa tempat, termasuk Bonjol, Maek, dan Pontianak—memunculkan spekulasi tentang hubungan Maek dengan Kerajaan Sriwijaya.

Bukti Arkeologis dan Gelombang Peradaban

Penelitian arkeologis oleh Dominik Bonatz, ilmuwan Jerman yang didampingi Arbi Tanjung dari Bonjol Pasaman, mengungkapkan tiga gelombang peradaban di Nagari Maek:

  1. Gelombang pertama: Berasal dari 5000-9000 tahun SM
  2. Gelombang kedua: Sekitar abad ke-15, ditandai dengan masuknya kebudayaan Islam
  3. Gelombang ketiga: Terjadi pada abad ke-18

Di Balai Batu, situs megalitik di Koto Gadang yang berukuran 80 cm tinggi dengan luas 6 x 6 meter, tim peneliti menemukan piring-piring, ceret, dan perkakas lainnya dari abad ke-18. Tempat ini dulunya menjadi dudukan batu Niniak Nan Barompek (empat pemimpin adat): Datuak Maharajo Indo (Banja Loweh), Datuak Siri (Mungka), Datuak Bandaro (Maek), dan Datuak Rajo Dubalai (Muaro Takus). Konon, batu dudukan aslinya kini berada di Belanda.

Balai Batu juga menjadi tempat pelaksanaan tradisi tolak bala dengan memotong seekor sapi yang disertai acara makan-makan, meski tradisi ini telah dihentikan sejak tahun 1980-an, seperti disampaikan Zul Dt. Pado, tokoh masyarakat Maek.

Asal-Usul dan Pola Migrasi

Menurut Prof. Dr. Ir. Rhauda Thaib, penghuni Nagari Maek datang dalam beberapa gelombang migrasi:

Gelombang pertama ditandai kedatangan suku bangsa Mee Nan dari Yunan (China selatan) pada 2000 SM. Mereka membawa kebudayaan menhir dan arsitektur rumah beratap gonjong, serta suka memelihara kerbau. Suku Mee Nan ini terdiri dari Mee Utara (Mee Pe), Mee Tengah (Mee Ao), dan Mee Selatan (Mee Nam). Para ahli berpendapat bahwa bangsa Mee Nam memudiki Batang Kampar hingga ke Batang Maek untuk memulai peradaban baru.

Gelombang kedua ditandai kedatangan bangsa dari Hindia Belakang (Vietnam, Kamboja, Laos) pada abad ke-5 SM. Mereka datang secara bergelombang melalui Batang Kuantan, membawa kebudayaan berupa lesung, kampak, dan ritual meratapi mayat.Kesamaan budaya antara masyarakat Luhak Lima Puluh dengan masyarakat di seberang pantai timur Sumatera terlihat dari:

  1. Tradisi membuat lemang dari bambu
  2. Kebiasaan memelihara kerbau
  3. Penggunaan tingkuluak (penutup kepala)
  4. Sunting untuk pengantin perempuan
  5. Penggunaan lesung dan batu dalam aktivitas sehari-hari

Bukti persebaran peradaban megalitik juga terlihat dari keberadaan menhir di sepanjang aliran sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera, seperti di Koto Lamo, Lubuak Alai, Gunuang Malintang, dan Pangkalan (Batang Kampar Kanan), serta di sepanjang aliran Batang Sinamar.

Sistem Pemerintahan Tradisional

Nagari Maek yang terdiri dari 6 suku (piliang, kampai, domo, melayu, mandailing, dan pitopang) memiliki struktur pemerintahan adat yang terorganisir:

  1. Rajo nan Baduo: Terdiri dari Rajo Adat (Datuk Bandaro) dan Rajo Ibadat (Dt. Rajo Dirajo)
  2. Pucuak nan Baronam: Pemimpin tertinggi dari masing-masing suku
  3. Datuk Ampek Suku: Berada di bawah Pucuak nan Baronam
  4. Datuk Andiko: Tingkat berikutnya dalam hierarki

Sistem pemerintahan adat ini menunjukkan pengaruh sistem Pagaruyung, sesuai dengan gelombang kedua penghuni Maek seperti yang dipetakan oleh peneliti Dominik.

Cerita Rakyat dan Legenda

Memori kolektif Nagari Maek tersimpan dalam berbagai cerita rakyat yang diturunkan antar generasi. Beberapa cerita yang populer:

Cerita Datuk Sri Gala dari Kamboja: Dikisahkan sebagai pemuda tampan dan pintar dari keluarga sederhana yang menikahi putri raja Kamboja. Setelah pernikahan, ia berlayar mencari daerah baru hingga sampai ke pantai timur Sumatera, memudiki Batang Kampar hingga ke Batang Maek. Ia menambatkan kapalnya di Sopan Tanah dan membuka pemukiman di Koto Godang. Setiap rakyatnya yang meninggal dibuatkan menhir. Datuk Sri Gala sendiri dimakamkan di Ampang Gadang dekat Bukit Pao Ruso. 

Cerita Niniak Nan Barompek: Mengisahkan empat pemuda bernama Datuk Maharajo Indo, Datuk Siri, Datuk Bandaro, dan Datuk Dubalai yang menelusuri Batang Maek hingga Batang Kampar. Di Langgam, mereka menyelamatkan Putri Indira dari India yang ditangkap burung garuda raksasa. Putri yang terpesona dengan ketampanan Datuk Dubalai bersedia dibawa ke Koto Gadang dan kemudian disebut sebagai Putri Mahat.

Asal-usul Bukik Posuak: Cerita yang paling berkembang di masyarakat Maek. Dikisahkan tentang Bagindo Ali dari Bukit Malintang yang sedang berburu rusa. Setelah berhari-hari mengejar, ia berhasil membunuh rusa tersebut dan marah hingga mencincang-cincangnya. Ia melemparkan paha rusa ke langit hingga menembus sebuah bukit. Bukit itu kemudian dinamakan Bukik Pao Ruso, dan lubang di bukit itu dikenal sebagai Bukik Posuak.

Tantangan dan Harapan Masa Depan

Meskipun memiliki kekayaan budaya dan sejarah, Nagari Maek masih menghadapi tantangan dalam aksesibilitas. Jalan menuju ibu kota kabupaten atau Kota Payakumbuh masih terisolir, padahal akses yang lebih baik bisa meningkatkan perekonomian masyarakat.”Seandainya saja akses jalan sangat baik antara Nagari Maek menuju Gelugur yang melewati Nenan tentu perekonomian masyarakat Maek akan lebih meningkat. Kami tentu akan lebih dekat mengantarkan hasil pertanian ke Riau melewati Pangkalan,” kata Ipil, warga Payakumbuh yang berkampung halaman di Maek.

Tokoh masyarakat Zul Datuak Pado berharap jalur dari Nenan ke Galugua yang tembus ke Puncak Sugak bisa menjadi jalan alternatif di masa depan. “Jika jalan negara Kelok Sembilan yang menghubungkan Sumbar dan Riau terputus maka semoga suatu nanti ada jalan alternatif dari Pangkalan ke Maek untuk menuju Payakumbuh atau Bukittinggi. Dengan melewati Puncak Sugak dari Maek ke Talang Maur bisa memangkas jalan hingga 9 km,” harapnya.

Memori Kolektif sebagai Penjaga Identitas

Upaya menelusuri memori kolektif di Nagari Maek melalui pengumpulan cerita rakyat, tambo, legenda, dan penelitian terhadap menhir-menhir yang telah berdiri kokoh selama berabad-abad mencerminkan nilai-nilai moral, kepercayaan, dan pelajaran hidup yang terus diwariskan.Tradisi lisan seperti nyanyian, tarian, dan permainan tradisional juga menjadi media untuk melestarikan memori kolektif yang menumbuhkan identitas kebudayaan masyarakat Maek. Dengan merawat memori kolektif ini, pengetahuan tentang asal-usul dan nilai-nilai budaya akan menjadi fondasi dalam membangun identitas kebudayaan yang kuat untuk generasi mendatang.

Memori kolektif ini perlu diaktivasi dalam ruang publik agar terus diingat dan menjadi bagian dari identitas Nagari Maek yang berkelanjutan, sehingga jejak peradaban kuno di lembah hijau ini terus hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi.

Terima kasih telah memilih untuk meninggalkan komentar. Perlu diingat bahwa semua komentar yang dikirim akan melalui proses moderasi terlebih dahulu, dan email Anda tidak akan dipublikasikan. Mari mulai diskusi kita.

Mari berdiskusi